Halaman

Rabu, 06 Oktober 2010

Aku Akan Pergi Lagi” plus 1 info menarik lainnya

Aku Akan Pergi Lagi” plus 1 info menarik lainnya


Aku Akan Pergi Lagi

Posted: 06 Oct 2010 08:04 AM PDT

class="fsize14 lh20">

Malam telah berkelakar pada raut wajahnya, dengan sumbang Ia pun membalasnya. Disapanya setiap penghias lintas malam, juga pada bayangan tubuhnya yang berlalu begitu saja mendahului langkah yang seakan melamban. Sebentar Ia merunduk, mengistirahatkan dan mengendapkan nafasnya. Selintas itu tak ada pikiran apa pun yang menggelayut dalam tempurung kepalanya. Kemudian Ia melaju lagi berlarian berkejaran bersama peluh. Sampai jauh tak banyak yang Ia jumpai pada pergesekan lintas angin yang disebabkan laju tubuhnya berdesingan dengan tembok-tembok tua dan juga tak sedikit tembok papan-papan yang dipaksakan sebagai dinding rumah-rumah. Karena tak banyak yang ia jumpai dalam perdeburan laju itu, Ia mengumpulkan serakan pertanyaan yang purba namun setiap kapanpun tak terduga Ia hadir dengan sendirinya. Serakan purba itu Ia rangkai dalam tanya, "dimana akhir petualangan haruskah berhenti pada kebutuhan semata? sepertinya tidak harus!".

Ia melangkah lagi, Ia temui deretan-deretan cahaya yang berlalang dan berjalang tanpa lelah menyinari dan membawa penerangan pada setiap yang gelap. Baik jiwa-jiwa gelap atau gelap-gelap jiwa atau gelap-gelap buram kusut rambut. Semeler dua meler, tulang kering tangannya megelus dengan sedikit sisa saja basah keringat yang hadir di garis-garis kening dan celah sobekkan matanya. Tak jarang tulang kering tangannya, mampir sejenak dua jenak pada kedua lubang hidung besarnya dan seakan menyamarkan aroma got yang tak putus menyambungi teras-teras jalan yang Ia lalui.

"Belum sampai…" Bisiknya pada kaki yang perlahan mulai melamban dan melayang. "Jangan berhenti disini karena akan sia-sia…" Bisiknya lagi lebih melirih.

Kembali lagi Ia meneruskan injak-injak kakinya pada teras tutup got yang tak pernah putus menyapa si tuan rumah yang tak mampu lagi membedakan aroma masakan istrinya atau aroma bangkai yang mengalir begitu saja pada aliran teras got yang merapat di pintu rumah mereka. Ah itu biasa saja jangan terlalu di dramatisir cukup di teaterikalkan. Ia memotong laju kata-katanya yang sekan hendak menuju pada penghakiman kepemimpinan. Ia menyoal bahwa tak perlu lagi ada penghakiman atau penghujatan sebab perenungan kepekaan nurani sesungguhnya telah menghujat titik nurani itu sendiri terkecuali pura-pura tuli atau benar-benar panca indranya tertutup H1N1.

Kali ini Ia benar-benar mencoba hentikan geliat indicator penghakiman pikiran pada sesuatu soal. Ia melanjutkan lagi derap-derap injak kakinya yang mulai terdengar terseret. Ia terus saja melangkah, sesekali kepalanya tengok kekanan tengok kekiri dongak keatas dan seringnya menunduk sambil menduga-duga akan ada batu mutiara yang terkikis di pembatas jalan. Ia sungguh tidak tahu kemana, Ia biarkan saja apakah injak demi injak itu akan membawanya pada pagi atau kembali pada perdebatan atau lebih halusnya lagi pada perbincang tentang keistimewaan para Nabi atau seberapa panjang sayap-sayap Malaikat dan jumlah bulu-bulunya, samakah dengan panjang dan jumlah sayap Burung Garuda Pancasila atau Ke Esa-an Tuhan? Ah sungguh Ia benar-benar tidak tahu atau belum tahu tapi memang itulah adanya.

Ia melangkah dan tak terhitung lagi berapa injakan. Otaknya mulai melemah lebih tepatnya otaknya lelah. Kemudian Ia duduk pada sudut teras yang tidak terlalu bersih bahkan bisa dibilang tidak bersih karena guguran daun-daun kering berserakan dimana-mana kemana daun itu suka. Seperti keadaan cara pemakaman orang-orang yang tak beridentitas atau tak ber KTP. Ia merajam helai demi helai rambutnya dengan maksud hendak merapikan jalur-jalur ruas helai rambutnya namun helaian itu ikut terangkat pula ketika tulang kering tangannya bergerak persis didepan mukanya. Helai-helai rambut yang tumbang di tangan itu Ia gugurkan pada lantai yang koyak. Kemudian Ia menghitung helaian rambut yang terbaring di lantai koyak itu.

"Fantastis" Ucapnya sangat lirih,

"Dua puluh tujuh helai rambut yang tumbang dalam hitungan dua menit saja" Tegasnya, lirih pula. Di atas kepalanya seakan muncul awan putih dan muncul lagi tulisan pertanyaan di awan putih itu. Tulisan tinta hitam namun tak semahal tintanya para pejabat Negara.

"Akan ada berapa helai lagi yang rontok pada perjalanan usia yang ia tak ketahui pasti?".

Ia segera menghapus awan putih yang ada di atas kepalanya tak lupa pula tinta hitamnya. Ia sedikit geli melihat gerak tangannya sendiri karena sungguh pun jika ada manusia yang melihat gerakan itu pasti akan menyangka Ia adalah orang yang tak sepenuhnya gila. Seperti tarian para kaum kelaparan akan kesejahteraan batin. Kasihan gila tidak waras pun jauh dari kemungkinan. Setelah awan putih dan tintanya terhapus Ia meyakinkan hatinya dan berdoa sekhusuk-khusuk walau Ia sadar bahwa tubuhnya amatlah kotor oleh debu-debu yang tak sepenuhnya bukan kesalahannya, karena Ia yakin benar telah mengenakan pakaian yang bersih. Tapi asap kendaraan orang-orang yang berlalang dijalanan itu telah menyumbangkan kotoran di pakaiannya. Ia berdoa.

"Jangan Kau bunuh aku sekarang Tuhan, jangan Kau padamkan aku, aku ingin terus berkobar, andai Kau sudah tak sabar hendak membunuhku, beri tahu aku jauh-jauh hari sebelum tiba pembunuhan itu, karena aku ingin Kau bunuh dalam keadaan muslim semuslim-muslimnya. Tapi Tuhan ada lagi permintaanku, jika nanti aku berkunjung ke syurga-Mu terimalah aku apa adanya segenap dengan kekuranganku ya…, andai aku tak fasih menyapa-Mu dengan bahasa arab izinkan aku menyapa-Mu dengan bahasa Negara kelahiranku, bahasa Indonesia atau bahasa nenek moyangku, bahasa Jawa dan satu lagi Tuhan agar pengucapanku terdengar lebih indah dan merdu boleh ya aku menyampaiakn dialogku dengan bergaya puisi? Apakah Kau berkenan Tuhan…?"

Ia kembali berdiri. Ia mencari jalan yang agak bahkan lebih sepi. Ia tak ingin menjadi bahan penglihatan orang-orang yang melintas kemudian jadi bahan pembicaraan mereka. Ia berpikir itu adalah bahan penumpukan dosa yang tak sengaja oleh niatan mereka. Ya seperti ada ungkapan Kejahatan bukan karena niat pelakunya tapi karena adanya kesempatan. Itulah yang membuatnya mencari jalan yang lebih sepi. Ia berpikir akan menjadi penyebab dari ketakniatan mereka-mereka yang berlalang dijalan itu menciptakan dosa-dosa ketaksengajaan baru. Ia tak sampai-sampai pada kemana muara injak kakinya. Kakinya seperti tidak punya tujuan. Ia tiba-tiba berhenti dan terlihat seperti mengingat sesuatu pertanyaan atau pernyataan. Ia ingat. Kakinya tak punya tujuan melangkah? Lalu ia cermati pernyataan itu dengan amat seksama.

"kakiku tak punya tujuan melangkah…?" Keningnya semakin mengerut, lalu spontan tapi perlahan ketegangan keningnya mulai mengendor dan wajahnya terlihat sedikit segar Karena lesung pipinya ikut serta menghiasi wajahnya. Ia seperti menemukan sesuatu tentang pernyataan itu.

"Tentu saja kaki ku tidak punya tujuan melangkah, karena yang punya tujuan melangkah adalah otakku dan kakiku hanya menerima perintah saja dari otakku kemana kakiku akan melangkah. Kalau kakiku punya tujuan sendiri kemana kakiku melangkah, berarti otakku pindah di kaki? Boleh juga tuh, ehm… kalau pindah di kaki, kira-kira dimana tempat yang cukup memuat untuk menampung volume otakku ya, di ibu jari tidak mungkin, kelingking apalagi, kalau mata kaki? Ee… sepertinya sedikit dipaksakan cukup untuk volume otakku, lalu… ah tidak, itu berbahaya aku harus mengeluarkan banyak dana untuk menggantikan memindahkan letak mata kaki di tempat yang lain. Sebab kalau mata kakiku di isi dengan otak tentu kakiku tak dapat melihat karena matanya tertutup otak. Ehm… berarti tidak mungkin kalau otak diletakkan di mata kaki. Kira-kira dimana ya letaknya, tapi harus masih pada bagian dari kaki? Aha… aku tahu aku letakkan saja otakku di dengkul… ya ini sudah pasti muat dan tidak mengganggu urat syaraf mata kakiku."

Ia kemudian mengernyitkan dahinya lagi setelah beberapa waktu lalu terlihat sangat segar dengan bumbu lesung pipinya. Diantara kernyitan di keningnya itu seperti tercetak timbul sebuah tulisan. Atas nama otak: aku tak mau di pindahkan di dengkul.

"Bayangkan saja jika dengkulmu itu selalu bergerak, melangkah kemana saja? maka tidak memakan waktu lama aku akan cepat gegar otak. Pokoknya atas nama perikeotakan aku tidak setuju. Titik". Kecam penolakan otaknya yang hampir saja berhijrah kedengkul.

Ia tersenyum dan mengangguk tanda paham dan menyetujui atas permintaan otak untuk tetap diletakkan pada tempatnya.

Ia melangkah lagi. Tapi kali ini Ia memutar arah langkahnya menuju kearah pulang. Tentunya pulang kerumahnya, karena Ia juga masih punya seruang kamar yang menjadi persinggahan aroma tubuhnya. Keputusannya untuk membalikan arah langkahnya karena Ia tidak menemukan jalan lagi kemana kakinya melangkah. Ia terhenti pada jalan buntu dan tembok besar di depannya. Terpaksa Ia kembali pulang karena sudah tidak ada jalan lagi. Kalau Ia harus memanjat tembok itu tentu Ia akan mendapat masalah besar. Bisa disangka maling atau orang gila yang tak punya kerjaan. Aneh kalau orang gila punya kerjaan tentu dia tidak gila. Atau apa kerjaan yang cocok untuk para orang gila? Apa menjadi dokter jiwa, ah sepertinya bukan. Ah sudahlah biarkan orang-orang yang gila saja meneruskan memikirkan kerjaan apa yang cocok buat orang-orang gila. Ia harus membalikkan langkahnya menuju ke pulang. Ya karena jalannya buntu. Ia melangkah lebih cepat dan bahkan kadang cepat sekali sampai berlari kadang pula lambat lagi dan cepat lagi dan lambat lagi begitu terus begitu saja dan kadang juga tidak begitu. Pokoknya ia melangkah dan berlari dengan sangat tidak konsisten hingga akhirnya sampailah Ia pada depan pintu kamar. Ia perlahan sekali membukanya karena tak ingin siapapun terganggu dengan gerak-geriknya. Ia kemudian melemparkan pandangannya kesetiap dinding ruang itu. Banyak tulisan-tulisan yang Ia tulis semau Ia saja. Entah itu berarti atau tidak yang pasti Ia suka melakukan itu. Sepintas matanya terlempar pada sebuah catatan yang dia tulis tiga hari yang lalu,

"Makhluk haus minum air, tapi aku haus minum harga diri yang di ukur dengan harga sebuah gallon".

Ia tersenyum tapi sangat ciut sekali. Kemudian matanya terlempar lagi pada catatan yang dia tulis selang satu jam dari catatan yang Ia baca baru saja,

"Di gallon itu ada air mata, di gallon itu ada duka dan di gallon itu ada dendam kebaikan yang akan ku lemparkan pada hidungmu sehingga kau tak bisa bernafas karena keplepekan banyu!".

Kali ini Ia tersenyum lebar hampir tertawa namun segera Ia larang ketawanya keluar karena tak ingin mengganggu orang lain. Kemudian Ia melangkah perlahan dan berhenti di sudut tembok yang terlihat kosong belum ditulisi. Ia mengeluarkan spedol hitam besar tapi tintanya sudah akan habis sehingga Ia perlu menekankan agak kuat ke tembok itu jika tintanya ingin keluar. Ia kemudian tuliskan catatan di tembok itu. Mukanya teramat serius.

"Melihatmu hatiku nyeri, menyetubuhimu aku enggan, merasakanmu aku tidak merasakan apa-apa. Lalu apa ini?… Tai……".

Ia mundur selangkah kebelakang lalu membacanya berulang-ulang dan kemudian Ia terbahak-bahak dalam hati sambil berjalan kekamar mandi. Sesampainya di kamar mandi Ia celupkan kepalanya kedalam bak air dan disanalah Ia lepaskan tawanya di dalam air sehingga muka dan kepalanya penuh dengan gelembung air. Kepalanya dongol kemudian Ia celupkan lagi ke air dan itu berulang-ulang kali. Saking berulang-ulang kalinya Ia merasa pusing dan seperti ada bintang-bintang kecil atau sejenis kunang-kunang bertaburan disekitar kepalanya. Ia pusing dan matanya susah untuk dibuka, tubuhnya sempoyaongan, tangannya mencoba meraih dinding kamar mandi untuk menjaga keseimbangan tubuhnya. Ia merapatkan tubuhnya pada diniding dan perlahan Ia terduduk dilantai. Badannya basah kuyup kepalanya juga benar-benar basah, dan Ia juga benar-benar pusing saking pusingnya Ia tidak seperti orang tidak sadar. Nafasnya sangat tenang, jantungnya berdegub sangat lambat, keringatnya keluar banyak tapi seakan tidak terlihat karena bercampur dengan air bak yang mengguyur tubuhnya. Yang membuat tahu apakah keringatnya keluar banyak atau tidak, itu dapat diketahui dari aromanya saja. Ia terkulai di lantai kamar mandi, kepalanya merapat dengan dengkul kakinya. Lalu seakan-akan cahaya kelabu dan agak putih melingkari sekitar tubuhnya.

Ia serasa duduk didalam ruangan yang besar dan penuh dengan perabotan yang mewah-mewah. Terbuat dari kayu jati kelas wahid dan beberapa mangkuk dan gelas yang dilapisi emas. Tapi ada benda yang jelas-jelas terbuat dari emas murni adalah jam dinding yang besar berukuran empat meter persegi. Tertempel di belakang meja pertemuan tersebut dan seakan-akan menjadi layar backgroundnya. Ia melihat ada beberapa orang yang duduk di kursi dalam ruang pertemuan tersebut. Ia seakan tidak asing dengan mereka. Walau mereka tidak mengenalnya tapi Ia yakin pasti Ia mengenal mereka lewat membaca buku dan cerita-cerita sejarah. Ia mulai mengingat-ingat siapa saja yang duduk diruangan itu. Ia mulai mengingat dari orang yang duduk di kursi sebelah kiri. Di kursi paling kiri adalah Diponegoro, kemudian Soekarno, kemudian samping sedikit Sudirman, sampingnya lagi Gus Dur, sampingnya lagi Cak Nun, sampingnya lagi Rendra, sampingnya lagi Tan Malaka, sampingnya lagi Gadjah Mada, sampingnya lagi Chairil Anwar, sampingnya lagi mbah Kadir, sampingnya lagi mbok waljiyem dan ditengah-tengah antara mereka itu ada tiga anak kecil yang selisih umurnya tidak jauh. Mereka bermain-main, bernyanyi-nyanyi naik turun meja dan juga kadang mengambil beberapa makanan dari piring yang terbuat dari lapisan emas tersebut.

Kembali sesekali Ia mengencangkan ikatan telinganya dengan pipi rahang untuk mendengarkan apa saja yang dibicarakan oleh orang-orang yang ada dimeja pertemuan itu. Ia merasa aneh kadang Ia tidak mendengarkan apa-apa hanya seperti bisikan-bisikan, kadang juga terdengar keras saat mereka tertawa atau berteriak lantang namun juga kadang mereka seperti bicara sendiri-sendiri atau lebih tepatnya seperti om Jemek Sapardi yang miskin itu sedang asyik dengan berpantomime sendiri. Benar kadang mereka asyik dengan diri mereka sendiri dan ada juga yang merebahkan tubuhnya beserta perutnya pada sebuah karpet. Kalau tidak salah karpet itu berwarna biru kemerah-merahan yang menjadi alas lantai meja pertemuan. Orang yang merebahkan tubuhna diatas karpet itu karena terpingkal-pingkal tak tahan menahan tawa diatas kursinya. Ia terus mengamati setiap gerak gerik mereka yang ada di meja pertemuan atau lebih tepatnya diruang itu. Gerak-gerik orang-orang tua atau tiga anak-anak tersebut. Lama sekali mereka asyik satu sama lainnya atau asyik dengan dirinya sendiri. Hingga pada akhirnya Ia melihat Soekarno berdiri diatas kursi sambil mengacung-acungkan tongkat kecilnya yang menyerupai pipa-pipa untuk menghisap opium yang selalu dibawanya kemana-mana. Soekarno berteriak sangat lantang dan semua yang ada di ruangan itu perlahan-lahan malu lalu menenangkan diri mereka. Terkecuali tiga anak kecil itu terus asyik bermain-main.

"Pancasila adalah jiwa yang sebenar-benarnya. Sayapnya membentang disepanjang Nusantara bahkan menutupi seluruh belahan dunia. Pancasila adalah falsafah Bangsa yang luhur dan bercita-cita mulia. Kita harus bersama-sama membanggakan Pancasila. Bersama-sama membangun Negara. Bersama-sama satu rasa. Memiliki rasa yang sama. Ada kekayaan, kita rasakan bersama-sama. Ada kemiskinan, kita rasakan bersama-sama. Apapun peristiwa dan kejadiannya Pancasila adalah Tonggaknya…"

Disela Soekarno yang bersemangat melantangkan ideologi Bangsa, mengobarkan semangat patriotisme, tiga anak kecil itu justru naik ke atas meja dan mereka mengambil sikap sempurna seperti orang yang hendak melakukan paduan suara. Kepala sedikit tengok kesamping dan sedikit pula mendongak keatas dan kedua tangan bererat berkait di depan dada. Anak-anak itu dengan hikmat menyanyikan sebuah lagu.

"Garuda Pancasilit aku ora nduwe duit… duite mung seketip, tak nggo tuku sandal jepit…".

Mendengar lagu yang dinyanyikan tiga anak kecil itu, mereka sebagian besar tertawa terbahak-bahakdan tak terkendali terkecuali Soekarno yang benar-benar terlihat marah besar namun ikhlas dan sabar.

Ia juga ikut tertawa mendengar anak-anak kecil itu bernyanyi lagu yang aneh. Ia tertawa sangat kencang dan sekencang-kencangnya sehingga menutupi suara bait-bait selanjutnya yang dinyanyikan anak-anak itu, sehingga Ia tidak tahu apa syair lagu selanjutnya yang dinyanyikan oleh anak-anak itu. Tapi kemudian Ia meredakan suara tawanya karena sayup-sayup Ia mendengar nyanyian anak-anak itu berubah menjadi seperti sebuah suara tangisan. Lalu Ia menyimak apa yang sedang terjadi pada anak-anak itu. Ternyata benar anak-anak itu terlihat sedang menangis karena anak itu telah dihukum di atas meja pertemuan itu. Kaki anak-anak itu diangkat sebelah lalu satu tangan kanannya memegang telinga kiri melintasi kepala dan tangan kirinya membawa sebuah tulisan yang dituliskan pada selembar kertas warna buram tulisan itu adalah

"Saya adalah anak-anak bandel, saya minta maaf dan tidak akan mengulangi kesalahan dengan mengubah lagu seenaknya sendiri dan saya berjanji akan membuat lagu yang ringan-ringan saja sekedar untuk menghibur para pencinta musik dengan tidak memperdulikan aspek pendidikan yang terkandung didalamnya. Demikian pernyataan kami anak-anak yang bandel".

Perlahan tangis anak-anak itu mulai melenyap dan disela itu seluruh pandangan mata tertuju pada sosok yang tak mengenakan baju dengan gaya rambut digulung keatas. Sesosok itu kemudian berdiri dengan sangat wibawanya dan mengangkat satu kepal tangannya keatas. Tangannya mengepal dan menggetarkan. Semua terbawa dalam gerakan ayunan kepalan tangannya yang seakan-akan menghujam langit. Bergeser waktu sesaat ada perubahan kepalan tangannya yang begitu garang itu. Dari sela kepalannya itu, terlihat ibu jari yang perlahan bergerak ganti posisi namun pasti dan akhirnya benar-benar sempurna ibu jari yang mencutat keluar dari kepalan. Lalu kepalan itu di putar setengah kearah kanan hingga posisi ibu jari sempurna tegak berdiri menghadap keatas. Lelaki itu dengan suara yang serak dan keras berkata,

"RCTI Oke…".

Ia bingung apa-apaan ini. Kenapa? apa ada yang salah dari orang yang berperawakan jadul itu. Ia kemudian berhasrat untuk menanyakan langsung kepada orang kekar itu, apa maksud dan tujuannya berbicara seperti itu, apa dia sudah menjadi selebriti sejarah atau dia simpati dengan logo tulisan RCTI yang gambarnya berparuh burung itu. Belum sempat Ia bertanya, Ia telah dihadang sebilah keris yang dihunus persisi didepan mukanya. Ternyata sosok yang menghunuskan keris didepan mukanya itu adalah laki-laki yang sudah tua, terpekur disebuah tandu yang terbuat dari kayu hutan. Kontan saja Ia mundur tiga langkah kebelakang dengan cepatnya tapi baru dua langkah mau ketiga langkah kakinya menyenggol sebuah kaleng yang didalamnya berisi kelereng-kelereng mainan anak-anak tadi. Anak-ank yang tadinya sudah terdiam kini kembali menangis lagi karena melihat seluruh kelereng mainannya tumpah berhamburan dilantai karena wadah kalengnya tertendang. Ia segera memungut kelereng-kelereng yang berhamburan itu sembari meyakinkan anak-anak itu bahwa keadaan akan baik-baik saja dan Ia akan bertanggung jawab atas segala tindakan kesalahan yang dilakukan meski kepada anak-anak kecil sekalipun. Ia sedikit bahagia karena anak-anak itu dapat diyakinkan olehnya dan anak-anak itu tidak menangis lagi. Sekarang tugasnya adalah mengumpulkan kelereng-kelereng yang berhamburan tadi kedalam wadahnya dan kemudian menyerahkan kaleng mainan itu kepada anak-anak tersebut. Di saat Ia mengumpulkan kelereng-kelereng kedalam wadahnya, terdengar suasana di meja pertemuan itu kembali riuh. Suara-suara orang dimeja pertemuan itu kembali menghidupkan suasana. Ia mendengar suara yang lantang dari sosok laki-laki yang gerakkannya menyerupai burung Merak. Lelaki itu menyuarakan tentang kemiskinan dan penderitaan, lelaki itu juga mengatakan sesuatu yang membuat perut berimajinasi dan mendorong lapar menghampiri. Tentang kenikmatan semangkuk sop dan secangkir kopi. Kemudian juga diantara suara itu saling tumpang tindih tapi masih terdengar ritme harmonis dialognya. Sekarang terdengar giliran seorang lelaki yang tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda, lelaki itu berpakaian putih menyerupai jubah atau apalah. Lelaki itu mengumpulkan beberapa gelas kosong dan piring kosong, kemudian lelaki itu mengambil sepasang sendok garpu dan sendok bukan garpu. Lelaki itu memukul-mukulkan sendok itu kepada semua benda-benda yang ada di depannya. Sesekali lelaki itu juga membanting gelasnya biar terdengar ramai sampai gaduh terus mengeluh. Memang awalnya terlihat seperti urakan tapi perlahan-lahan lelaki itu memainkan pukulan-pukulan tangannya itu sehingga membuat musik yang membius telinga dan mata. Lelaki itu seperti kesurupan tapi gerakannya juga masih teratur. Pukulannya susul menyusul dan membuat semua makhluk yang mendengarkannya pasti segera berhasrat apa saja sesuai dengan imajinasi yang ditangkapnya. Termasuk tiga anak-anak itu. Mereka sepertinya sudah melupakan kelereng yang berhamburan. Anak-anak memeragakan sesuai dengan hasrat dan imajinasinya. Satu anak memeragakan seperti kambing, mengembek-embek kesana kemari, satu lagi berkhayal menjadi padang rumput dan rumput-rumputnya lalu satu anak lagi membuka bajunya dan berlagak seperti penggembala kambing sedang menggembalakan kambingnya di padang rumput. Anak-anak itu menari-nari dan tertawa riang hingga akhirnya suasana menjadi berubah setelah anak yang menjadi penggembala tadi mulai mencabuti rumput untuk makan kambingnya. Anak gembala itu mencabuti rambut anak yang menajadi padang rumput dan rumputnya itu sendiri. Anak gembala itu mencabuti rambut anak rumput itu dengan senangnya tanpa memperdulikan ringis anak rumput itu yang kesakitan karena rambutnya dijambak-jambak hingga mbrodol-mbrodol. Begitupun anak yang menjadi kambing tadi. Anak itu mengkunyah-kunyah rambut anak rumput itu seperti kambing yang sedang mengkunyah-kunyah rumput. Anak kambing dan anak gembala itu sangat menikmati sekali tapi anak padang rumput itu meringis-ringis dan menangis sejadi-jadinya karena teramat sakit menerima kesenangan kedua anak yang lainnya. Lama-kelamaan kepala anak padang rumput itu menajdi botak dan berlumuran darah dan juga rupa kepalanya menjadi buruk dan sengsara. Tetapi disela-sela tangis anak padang rumput itu datang mbah Kadir yang sedari tadi juga sedang terhanyut dalam hasrat karena musik yang di mainkan oleh lelaki berjubah putih itu. Mbah Kadir mendekati anak padang rumput. Mbah kadir mengelus-elus kepala botak anak itu dan kemudian menanamkan beberapa bunga yang indah-indah dikepalanya. Ajaib, kepala anak itu yang tadinya botak kini terlihat indah dan penuh bunga-bunga yang harum. Melihat kondisi kepala yang ditumbuhi bunga-bunga, anak itu merubah tangisnya menjadi senyum kebahagiaan dan keindahan. Kemudian anak itu melontarkan satu permintaan kepada semua orang yang ada dimeja pertemuan itu. Anak itu berkata,

"Tolong siramkan air di atas kepalaku agar kepalaku menjadi subur dan dingin".

Mendengar permintaan itu seorang tua yang memakai kacamata minus tebal, berjalan agak merambat-rambat mendekati anak itu dan mencari-cari dimana letak kepalanya. Setelah menemukan kepala anak itu, lelaki tua itu kemudian menyiramkan segelas air yang amat jernih dan dinging kekepalanya sambil berkata,

"Begitu saja kok repot".

Semua yang ada di meja pertemuan itu langsung tertawa dan menyetujui perbuatan pula perkataan orang tua itu.

"Begitu saja kok repot".

Lalu tanpa dikomando, mereka yang belum melakukan sesuatu terhadap kepala anak itu mereka berantrian dan bergiliran satu persatu. Memperlakukan dan berbuat sesuatu kepada kepala anak kecil itu. Mereka yang mendapatkan giliran berikutnya, menyikapi kepala anak itu, adalah seorang tua yang mengenakan ikat kepala putih. Orang tua itu kembali menanamkan rumput-rumput hijau yang nantinya akan dia sabit lagi untuk makanan kudanya. Lalu orang yang berperawakan misteri menanamkan pohon sengon dengan harapan, nanti ketika pohonnya sudah besar akan dia tebang dan dia gunakan sebagai bahan kertas untuk dapat dia tulisi tentang pemikirannya. Kemudian orang tua bertandu juga ikut menanam pohon jati juga dengan maksud nanti ketika pohon jatinya besar orang itu dapat menebangnya dan dapat menjadikannya sebagai bahan tandu yang lebih kuat dan tahan lama. Begitu selanjutnya dan selanjutnya hingga akhirnya sampai pada giliran Mbok Waljinem. Mbok Waljinem mendekati kepala anak itu dan menanamkan bahan obat-obatan tradisional, semacam jahe, kunyit, kencur, temu lawak dan sebagainya. Mbok waljinem berharap, kelak tanamannya itu dapat sebagai bahan obat-obatan untuk mengobati siapa saja yang butuh pengobatan dan jamu kuat. Mereka semuanya sibuk.

Melihat orang-orang yang ada dimeja pertemuan itu sibuk, Ia merasa sendirian dan tak diperdulikan. Kemudian karena merasa keterasingan, Ia perlahan-lahan pergimenyelinap keluar dari ruangan itu. Tetapi Ia merasa kebingungan karena tidak ada pintu keluar disana. Jangankan pintu keluar jendela atau lubang angin pun tak ada di ruangan itu. Ia bingung, sangat bingung sekali. Karena kebingungan itu, Ia seperti mengeluarkan keringat yang sangat banyak dan membuat basah kuyup seluruh tubuhnya. Ia menggigil dan hampir membeku. Ia berusaha keras. Sekuat tenaga Ia meronta dan berteriak sekuat-kuatnya lalu tiba-tiba matanya terbuka sebuka-buka. Ia bengong karena semua orang yang ada di ruang dan meja pertemuan itu menghilang. Disekelilingnya hanya terlihat dinding-dinding pengap serta gayung yang terjungkir balik disudut ruang itu. Ia menarik nafas panjang dan menyimpulkan sesuatu dalam desis katanya,

"Tidurku menghampiri tentramnya lantai kamar mandi".

Ia kemudian perlahan menggerakkan tubuhnya, berdiri dan berjalan kembali ke ruangan yang sebenarnya. Kamarnya. Langit diluar masih gelap. Sekarang Ia bertemu dengan apa yang sebenarnya. Menyapa kembali catatan-catatan didinding kamarnya dan juga seorang perempuan yang tidur diatas kasur keras. Didekatinya perempuan itu dan dibisikkan ditelingannya,

"Maaf, sebelum kau terbangun, aku akan pergi lagi dengan dan bersama imajinasiku".

Ray mengku Sutentra

Yogyakarta, 25 Agustus 2009


Masih ada tradisi raja di Indonesia

Posted: 05 Oct 2010 06:56 PM PDT

Mudah cetak
E-mel

6 Okt 2010

FORUM

Masih ada tradisi raja di Indonesia

SAYA merujuk kepada tulisan Encik M. Effendy A. Hamid, Antara Melayu biasa dan yang beraja (BH, 29 September).

Saya ingin mengetengahkan bahawa raja dan institusi raja masih wujud di Indonesia walaupun sistem pemerintahan beraja tidak wujud. Sejak kemerdekaan Indonesia, institusi raja telah menyerahkan kekuasaan politik dan sebagainya kepada pemerintah Indonesia; dan tidak lagi menguasai negara masing-masing.

Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengkubuwana X merupakan Gabenor Yogyakarta juga. Kini, kaitan jawatan Gabenor DIY dengan takhta Keraton Yogyakarta dipertikaikan penduduk bandar itu yang ingin memilih gabenor mereka sendiri.

Di Indonesia, beberapa raja yang bertakhta dalam lingkungan istana mereka sendiri telah menubuhkan rangkaian raja-raja di Indonesia. Di antara rangkaian yang saya kenali adalah Forum Komunikasi dan Informasi Keraton Nusantara (FKIKN) dan Forum Silaturahmi Keraton/Kerajaan se-Nusantara (FSKN).

Sejak 1990-an, rangkaian FKIKN telah menganjurkan Festival Keraton Nusantara (FKN). Tahun ini dikhabarkan FKN ke-7 akan berlangsung dari 27 hingga 29 November di kota Palembang.

Pada 2004, saya berpeluang menghadiri FKN ke-4 di Yogyakarta. Antara acara yang dianjurkan ialah Dialog Budaya Nusantara dengan kedudukan raja dan juga institusi raja dibincangkan. Beberapa raja atau wakil mereka telah menyahut saranan agar institusi raja mengekal kerelevannya kepada masyarakat melalui peranan sebagai lembaga atau Pusat Adat/Kebudayaan.

 Tertubuhnya Lembaga Adat Melayu Serantau (Lams) merupakan usaha raja-raja bekas kerajaan Melayu untuk mengekalkan kerelevannya kepada masyarakat melalui peranan sebagai Lembaga Adat. Dengan tertubuhnya Lams, Indonesia kini mempunyai tidak kurang daripada tiga rangkaian raja-raja.

 Perkara yang menimbulkan keprihatinan saya mengenai perkembangan raja-raja dan juga institusi raja di rantau ini ialah rangkaian serantau yang wujud di antara raja di Semenanjung Malaysia, Indonesia dan juga Filipina.

Di Filipina, ada juga rangkaian raja yang dikenali sebagai Kedatuan Conference. Saya tertarik kepada rangkaian serantau ini yang ada kemungkinan mempengaruhi hubungan di antara negara Asia Tenggara.

Sementara itu, sebagai Lembaga Adat atau Pusat Kebudayaan, institusi raja di Indonesia berperanan melestarikan adat istiadat, sumber daya kebudayaan (cultural resource) dan pengetahuan tradisional seperti pengetahuan tentang ramuan perubatan (jamu), resipi masakan, cara mempercantikkan diri, muzik, tarian dan kepimpinan.

Sering kita berpandang jauh untuk mencari ilmu dan pengetahuan. Sebaliknya, saya menemui beberapa peneliti bangsa asing yang mempelajari ilmu dan pengetahuan tradisional kita.

Banyak yang dapat kita raih dengan mengkaji semula pengetahuan yang terkandung dalam manuskripmanuskrip yang disimpan institusi-institusi raja seperti Keraton Surakarta. Jika kita tidak menghargai pengetahuan dalam manuskrip berikut, siapa lagi?

Dengan mengekalkan institusi raja di Indonesia sebagai Lembaga Adat atau Pusat Kebudayaan, ada harapan manuskrip yang mengandungi ilmu tradisional dan sumber daya kebudayaan kita akan tetap dipelihara. Yang penting, sebagai pewaris tamadun Melayu/Nusantara, kita mencari ilham untuk memajukan pengetahuan tradisional kita.

Suryakenchana Omar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar